Rabu, 21 Maret 2012

Browse: Home / / / Perilaku Setelah umrah

Perilaku Setelah umrah


Tatkala sedang di airpor, saya melihat orang-orang yang berpakaian persis orang Arab. Bahkan tampak orang Arab klas bangsawan. Pakaian mereka tidak sebagaimana pakaian orang Arab pada umumnya, menyerupai orang Arab klas bangsawan.  Bajunya berpotongan baju bangsawan, demikian pula pecinya.  Pecinya  dirangkap-rangkap, bahkan juga dilengkapi dengan bando atau sabuk pengikat peci itu, hingga tampak  sebagaimana   orang Arab bangsawan beneran.


 


Rupanya orang-orang yang pulang umrah dimaksud adalah orang Jawa. Badan mereka pada umumnya tinggi dan besar. Begitu pula para wanita yang ikut dalam rombongan itu. Mereka juga mengenakan pakaian yang biasa dipakai oleh orang-orang wanita Arab. Itulah kesan saya, mereka itu seperti orang Arab baru. Mereka berpakaian Arab, oleh karena baru pulang umrah, sekitar dua minggu  berada di Makkah dan Madinah.

 Dilihat dari sudut pandang tertentu,  berpakaian seperti itu melahirkan kesan religious. Orang yang pulang dari tanah suci  menjadi berbeda dari sebelumnya. Perubahan itu  setidak-tidaknya adalah  bentuk dan rupa pakaiannya. Pakaian mereka menyerupai pakian orang Arab. Dengan pakaian seperti itu, mereka yang menyambut kedatangannya  akan merasakan  ada suasana sakral. Orang yang datang dari tanah suci menjadi terasa berbeda, atau dirasa-rasakan berbeda.

Akan tetapi dari sisi lainnya,  fenomena seperti itu bisa dibaca bahwa sedemikian cepat orang Indonesia beradaptasi dengan orang lain yang dianggap memiliki kelebihan. Sehari-hari, sejak kecil hingga tua, mereka berpakian sesuai dengan adat istiadatnya masing-masing. Akan tetapi  terpengaruh oleh budaya bangsa lain selama dua minggu saja ternyata sudah berubah total. Perubahan itu  sedemikian cepat  terjadi.

Saya kira apa yang tampak dari orang-orang yang pulang dari ibadah umrah tersebut juga terlihat pada  banyak orang lainnya, baik sepulang haji maupun umrah. Rupanya tatkala berpakaian ke Arab-Araban,  walaupun bukan keturunan Arab,  terasa lebih bangga. Buktinya, pakaian mereka yang lama ditinggalkan dan diganti dengan pakaian baru itu, lebih-lebih tatkala datang ke masjid atau tempat-tempat lain yang bernuansa keagamaan.   

Menyaksikan hal itu, seorang kawan yang tidak begitu mengerti yang sebenarnya tentang Islam   pernah  menanyakan, apakah seorang muslim harus  berpakain menyerupai pakaian Arab. Tentu saya memberikan jawaban ringan, bahwa  hal itu tidak harus. Tetapi kalau berkeinginan juga tidak mengapa. Lebih lanjut, mereka juga bertanya lagi, apakah harus memelihara jenggot segala. Jawaban yang saya berikan juga masih tetap ringan, bahwa kalau memang memiliki jenggot, maka dipelihara juga tidak mengapa, sebaliknya jika tidak memiliki juga tidak perlu dipaksa-paksakan dan apalagi lalu merasa kurang ke-Islamannya.

Saya memberikan penjelasan bahwa ber-Islam itu mudah.  Ber-Islam itu tidak pelu dirasakan sebagai sesuatu yang sulit, apalagi hanya terkait dengan pakaian. Menjadi Islam yang baik tidak perlu harus mengubah  bentuk pakain segala. Orang Jawa yang sehari-hari berpakaian model Jawa tidak perlu harus berganti dengan model pakaian Arab. Sekalipun menjadi muslim maka tetap saja berpakaian Jawa sebagaimana biasanya digunakan sehari-hari, seperti biasanya.

Tentang pakaian,  bagi seorang muslim atau muslimat,  yang penting adalah menutup aurat.  Sedangkan  bagaimana potongan atau model pakaian itu, maka  boleh-boleh saja  menyesuaikan dengan adat istiadat setempat yang berlaku di tempat itu. Menjadi seorang muslim tidak harus berganti model pakaian yang selama itu digunakan. Sekali lagi,  yang terpenting, bahwa pakaian itu  bisa  menutup aurat.  Berpakaian Jawa, boleh-boleh saja  asalkan  menutup aurat. Begitu pula berpakaian Madura, makassar, sumatera, dan lain-lain boleh-boleh saja, tetapi diusahakan sebagai seorang muslim, kewajibannya adalah  menutup aurat.  Sedangkan cara menutupinya disesuaikan dengan kebiasaannya.

 Demikian pula, sepulang dari haji atau umrah tidak  harus berganti pakaian, menyesuaikan dengan tradisi Arab.  Mereka yang terbiasa memakai celana, baju  hem,  dan dasi, setelah haji  pakaian itu tidak perlu diubah  menjadi pakaian gamis. Jika diubah,  bisa jadi orang memaknai bahwa Islam itu hanya tampak di pakaiannya. Padahal yang terpenting dari ber-Islam adalah tergambar pada hati mereka masing-masing.

 Sebagai seorang muslim dan muslimat, yang lebih penting adalah   harus berhasil menunjukkan keimanan dan ketaqwaannya,  berakhlak mulia, dan beramal shaleh.  Selanjutnya, dalam kehidupan sehari-hari, harus berusaha agar bisa dipercaya,  memberi manfaat orang lain,  sabar, banyak bersyukur, ikhlas, dan menjaga sifat-sifat mulia lainnya. Keber-Islaman lalu tidak sekedar tampak dari pakaiannya, seperti menjadi orang Arab baru, melainkan yang terpenting harus tampak di hati dan perilakunya. Wallahu a’lam.

Artikel yang Berkaitan

2 komentar:

  1. permasalahannya kalo ke arab berpakaian seperti di jawa menurut informasi nanti menarik perhatian laki arab yang katanya agresif, jd sebisa mungkin kita berpakaian sama dengan mereka agar tidak menarik perhatian, pas umroh ato haji baiknya gmn dooong...?

    BalasHapus
  2. Itu msh lebih baik drpd pulang dari eropa lalu berperilaku n berpakaian layaknya warga eropa di musim panas bukan. Lagipula yg memakai pakaian arab juga memakainya dgn mudah saja.

    BalasHapus